Jumat, 27 Juni 2014

(Hari Gini) Mencari Netralitas Media #Pencermat



courtesy: Wikipedia

Keberadaan media cukup sentral dalam kehidupan kita saat ini. Era informasi seperti sekarang membuat peran media menjadi penyebar informasi. Media dituntut bersikap seadil-adilnya dalam memberitakan sebuah informasi. Tapi, banyak yang mengira bahwa informasi yang adil itu berarti media harus netral.

Beberapa waktu lalu, seorang teman berkeluh-kesah di media sosial. Keluhan itu dia sampaikan karena merasa salah satu media cetak terbesar di Indonesia bersikap tidak netral terkait Pemilihan Presiden 2014. Teman saya itu menuding jika pemberitaan media itu berpihak kepada salah satu calon pasangan dalam Pilpres.

Menurut saya, hampir mustahil mencari media yang netral. Netral itu bisa diartikan sebagai sebuah sikap yang tidak berat sebelah kepada salah satu yang menjadi subjek pemberitaan. Jadi kalau ada masalah antara A dan B, maka media itu tidak memiliki sikap bahwa A atau B yang benar. Jika memang seperti itu, menurut saya itu bukan media.

Seketika saya teringat sebuah pernyataan saat sedang mengikuti pendidikan tempat saya bekerja. Saya bekerja di salah satu media massa yang cukup dikenal luas. Ketika dalam masa pendidikan itu, mantan pemimpin redaksi yang menjadi pembicara itu mengatakan bahwa media kami bersikap independen. Artinya, media kami bukan media yang netral dan tidak memiliki keberpihakan. Justru sikap independen itu adalah sebuah kebebasan yang dimiliki media untuk menetukan sikapnya.

Artinya, media kami secara jelas menunjukkan sikap terhadap suatu permasalahan. Pembicara yang  mantan pemimpin redaksi itu juga memberikan contoh, meski dalam kesempatan yang berbeda. Contohnya adalah kisruh PSSI. Waktu itu Nurdin Hadil yang menjabat sebagai ketua umum dipenjara karena terlibat kasus korupsi. Dia didesak untuk mundur karena aturan FIFA menyebutkan bahwa ketua federasi sepak bola suatu negara tidak boleh terlibat kriminal.

Dengan segala upaya, Nurdin dan kawan-kawan berupaya sebisa mungkin mengakali aturan tersebut. Mereka berdalih bahwa Nurdin ketika menjabat pertama kali tidak terkait masalah sehingga posisinya sebagai ketua umum tidak bisa lengser melalui aturan FIFA. Sebuah argumentasi yang bahkan organisasi sekaliber FIFA geleng-geleng dan angkat tangan sehingga Nurdin tetap anteng di kursi PSSI 1.

Dari kasus itu, media kami memutuskan bahwa argumentasi itu hanya retorika politikus busuk yang tidak ingin kehilangan jabatan. Kami pun memutuskan untuk berpihak pada FIFA dan ‘menyerang’ PSSI yang dikomandoi Nurdin. Singkat cerita, sang ketua umum itu pun akhirnya berhasil dilengserkan. Terpilih ketua baru bernama Djohar Arifin. Tapi kepemimoinan Djohar juga tak mulus.

Sekelompok orang yang tidak puas akhirnya mendeklarasikan diri untuk membentuk Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI). Sebuah organisasi tandingan yang tidak memiliki dasar hukum apapun. Mereka Cuma orang-orang mantan komite eksekutif PSSI yang tidak terima dipecat oleh Djohar. Keberadaan KSPI itu juga akhirnya ikut berimbas ke tim nasional sehingga menimbulkan dualisme.

Dan lagi-lagi, media kami pun akhirnya mengambil sikap. PSSI harus dibela. Kira-kira seperti itu pesannya. Karena apa yang dilakukan oleh PSSI dengan memberhentikan komite ekskutif itu adalah sesuatu yang legal karena dilakukan lewat mekanisme organisasi. Karena itu, media kami pun membela PSSI karena memang berada di pihak yang benar.

Intinya, media itu tidak akan pernah ada yang bersikap netral. Setiap media pasti punya kepentingan dan pemikirannya masing-masing. Bahkan di Amerika Serikat yang konon menjadi kiblat kebebasan pers juga tidak ada media yang netral. Media-media ternama di sana, dalam hal pemilu, juga memiliki jagoannya masing-masing.

Bahkan mereka berani mengakui secara terbuka sebagai pendukung Partai Republik atau Partai Demokrat. Sesuatu yang tidak kita lihat di Indonesia, di mana media malu-malu kucing menyampaikan sikapnya.

Akhirul kata, menurut saya sikap netral dalam perkembangan dunia sekarang ini hampir sulit ditemui. Kita sebagai makhluk yang berakal dan berpendidikan juga secara otomatis pasti memiliki pilihan. Mana baik dan buruk, mana benar dan salah. Ibaratnya begini, kita punya pacar terus pacar kita digangguin orang. Kalau bersikap netral, kita harusnya tidak membela pacar atau yang mengganggu dong.

 Pertanyaanya,apa iya seperti itu? Otomatis kita memihak kan. Independen dan netral itu berbeda. Intinya, media boleh berpihak selama berpihak kepada yang benar. Jadi kalau mau mencari media yang netral, ya mungkin bisa bikin saja media sendiri. hehehe

Demikian.

Jumat, 20 Juni 2014

Piala Dunia Amerika Latin #Percermat






 
courtesy: tribunnews


Piala Dunia 2014 sudah bergulir hingga pekan kedua. Bahkan, dua negara yakni Belanda dan Chile, sudah memastikan diri lolos dari fase grup. Negara 'Jeruk' dan 'Cabe; itu berhasil membuat juara bertahan Spanyol pulang kampung lebih cepat. Mungkn bagus juga sih, bisa fokus ibadah puasa bersama keluarga. Ya kalee.. Tapi piala dunia memang selalu punya cerita menarik. Setidaknya buat saya pribadi. Dari juara bertahan yang tersingkir lebih awal, hingga mitos tentang juara.

Saya tertarik soal mitos tentang juara itu. Setiap piala dunia, ada mitos bahwa negara yang akan menjadi juara adalah negara yang berasal dari benua tempat penyelenggaraan itu. Percaya atau tidak, kenyataannya memang seperti itu. Mungkin yang jadi pengecualian adalah penyelenggaraan di Jepang-Korea Selatan tahun 2002 dan di Afrika Selatan tahun 2010. Brasil menjadi raja di Asia, Spanyol jadi penguasa Afrika.

Nah ini daftarnya:
1930: (tuan rumah) Uruguay - (juara) Uruguay
1934: Italia - Italia
1938: Prancis - Italia
1950: Brasil - Uruguay
1954: Swiss - Jerman Barat
1958: Swedia - Brasil
1962: Chile - Brasil
1966: Inggris - Inggris
1970: Meksiko - Brasil
1974: Jerman Barat - Jerman Barat
1978: Argentina - Argentina
1982: Spanyol - Italia
1986: Meksiko - Argentina
1990: Italia - Jerman Barat
1994: Amerika Serikat - Brasil
1998: Prancis - Prancis
2002: Jepang-Korea Selatan - Brasil
2006: Jerman - Italia
2010: Afrika Selatan - Spanyol
2014: Brasil - ....

Kalau dilihat, kekononan itu bukan bualan belaka. Mungkin cuma Brasil yang pernah melanggar 'aturan main' itu tahun 1958, tapi itu juga karena mereka diperkuat Pele yang merupakan pemain terbaik sepanjang masa. Tapi menurut saya, itu cuma kecelakaan sejarah saja. Buktinya cuma satu kali dan sampai sekarang tidak pernah terjadi lagi.

Melihat Piala Duni 2014 di Brasil, seperti tradisi itu bakal terulang lagi. Menurut saya, itu sudah mulai terlihat dalam dua pekan pertama ini. Tim-tim benua Amerika mulai unjuk gigi dari pertandingan yang sudah mereka jalani. Hasilnya, Amerika Serikat yang tak punya tradisi sepak bola, atau Kosta Rika yang cuma dianggap pelengkap penderita, malah meraih kemenangan. Hasil bertolak belakang terjadi terhadap tim-tim Eropa.

Mungkin tidak adil jika diperbandingkan, soalnya memang tim Eropa yang jadi peserta piala dunia lebih banyak. Tapi sampai saat ini dua raksasa Eropa malah sudah harus angkat koper lebih dulu. Dan dua-duanya dicampakkan oleh tim Amerika. Spanyol didepak Chile, Inggris disingkirkan Uruguay. Buat Inggris, memang belum 100 persen tersingkir. Tapi dengan dua kali kalah dari tiga pertandingan membuat peluang mereka lolos setipis benang jahit.

Dalam kacamata dimas, negara-negara Eropa akan sulit meraih juara di Amerika, apalagi Amerika Latin. Menurut saya, penyebabnya adalah perbedaan iklim, cuaca, dan kelembaban udara. Para pemain Eropa terbiasa bermain di tanah mereka sendiri yang cenderung beriklim sedang dan tingkat kelembaban udaranya rendah. Sedangkan pemain Amerika Latin sudah terbiasa dengan iklim itu.

Negara-negara Latin merupakan eksportir pesepak bola terbesar di dunia. Lihat saja, hampir tidak ada negara di Eropa yang tidak diperkuat pemain asal Brasil, Argentina, atau Chile. Bahkan negara sekelas Kolombia atau Ekuador juga menjadi eksportir. Kalau dilihat sebaliknya, hampir tidak ada pemain Eropa yang berlaga di Latin dan kalau pun ada mungkin bisa dihitung pakai jari.

Itu yang menurut saya pada piala dunia kali ini akan dimenangkan oleh tim Amerika. Tapi kalau saya menjagokan Argentina yang bakal jadi juara dunia. Pertimbangannya, Argentina diisi oleh pemain-pemain kelas dunia dan haus akan gelar internasional. Sesuatu yang juga dimiliki Brasil. Cuma, tim Negeri Samba yang diisi banyak pemain muda saya kira akan sulit memenuhi ekspektasi tinggi dari publik dalam negeri. Itu menjadi beban yang akhirnya malah menggagalokan langkah mereka.

Argentina yang tidak terlalu diperhitungkan ketimbang Brasil jelas diuntungkan dengan kondisi tersebut. Jadi menurut saya, Argentina yang bakal meraih gelar ketiganya. Ya itu memang soal prediksi saja. Benar atau tidak, mari kita lihat 12 Juli nanti. Yang penting, siapa pun yang juara harus tetap dinikmati. Namanya juga pesta sepak bola. Dan juga jangan sampai ada tawuran di negeri Indonesia tercinta gara-gara piala dunia. Yang juara siapa, yang ribut siapa.


Sekian.

Lokalisasi Tak Akan (Pernah) Mati #Pencermat

 
courtesy: poskotanews

Beberapa bulan lalu, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, tampak meneteskan air mata saat berkunjung ke Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan. Air matanya meleleh saat dia menyaksikan sendiri banyaknya perempuan, tidak sedikit yang masih berusia belasan, bekerja sebagai pemuas nafsu laki-laki hidung belang. Ya, daerah yang baru dikunjunginya ada lokasi termasyuh se-Indonesia, yakni Lokasisasi Dolly. Risma pun bertekad bulat bakal menutup lokalisasi itu dan memberikan keterampilan kepada 'penghuni gang Dolly'.

Pada 18 Juni 2014, Risma membuktikan ucapannya tidak main-main atau pemanis media saja. Dia menutup lokasisasi yang konon merupakan terbesar di Asia Tenggara. Dibantu ribuan petugas gabungan dari Satpol PP, Polisi, dan TNI, deklarasi penutupan Dolly pun berlangsung secara mulus. Tapi, saya sendiri tidak yakin hal itu akan benar-benar melenyapkan aktivitas syahwat di kawasan tersebut.

Menurut saya, seks merupakan salah satu kebutuhan biologis manusia yang paling mendasar. Jika sudah kebutuhan itu sudah mencapai ubun-ubun, berbagai macam aral melintang pun dihadapi. Tujuannya satu,mencapai kepuasan seks. Mungkin hal itu cuma berlaku buat yang gagal mengendalikan syahwatnya. Celakanya, tak sedikit juga diantara mereka yang belum menikah sehingga tak bisa menyalurkan hasrat seksualnya. Karena itu, melipirlah dia ke tempat esek-esek itu.

Di lain pihak, para penjaja seks pun senang-senang saja mendapat pelanggan. Dengan alasan ekonomi, para pekerja nafsu itu malah mendapat keuntungan materi yang melimpah. Mereka bisa menerima uang uang antara Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu per hidung belang. Jika dalam sehari bisa melayani 10 hidung belang, uang Rp 1 juta minimal sudah ada di kantong. Bandingkan dengan gaji kita..hehehe.

Hukum ekonomi pun berlaku. Needs ada, pasokan pun tidak seret. Maka, prostitusi pun menjadi bisnis yang menggiurkan, Tapi tentu saya tidak bicara masalah halal atau haram di sini. Murni dilihat dari kacamata dimas, eh, bisnis maksudnya. Lokalisasi Dolly misalnya. Sebuah laporan pernah mengungkap bahwa perputaran uang di kawasan itu mencapai miliaran rupiah dalam satu malam. Siapa yang tidak tergiur? Modalnya cuma ruko yang isinya sudah di-setting (untuk esek-esek) dan pekerja seks saja. Tapi modal bisa lunas dalam hitungan bulan saja.

Iming-iming Wali Kota Risma yang akan memberikan bantuan keterampilan agar lokalisasi Dolly tidak ada lagi menurut saya tidak menyentuh inti persoalan. Keterampilan yang ditawarkan seperti menjahit atau apalah itu, kurang menarik bagi para pekerja seks. Logikanya adalah, "Kalau melacur saya bisa dapat Rp 1 juta dalam sehari, jadi mengapa harus menjahit yang sebulan belum tentu bisa dapat Rp 1 juta."

Jadinya, menurut saya, para pekerja nafsu itu bakal tetap menikmati pekerjaannya saat ini. Alasan ekonomi menjadi pertimbangannya. Apalagi si hidung belang yang ingin menyalurkan hasratnya itu bisa dibilang tidak sedikit. Hukum ekonomi pun kembali bekerja, ada kebutuhan (si hidung belang), maka tentu ada pasokan (pekerja seks).

Lagipula, lagi-lagi menurut saya, keberadaan lokalisasi itu juga ada sisi positifnya. Pemerintah bisa mengontrol aktivitas di kawasan tersebut. Para pekerjanya bisa didesak untuk memeriksakan diri sehingga akan terdeteksi jika mengidap penyakit yang berbahaya. Penularan berbagai macam penyakit menular seksual pun bisa dikontrol. Selain itu, laki-laki beristri juga pasti akan was-was jika kedapatan keluar dari area tersebut. Kepergok istri, golok tersaji.

Tapi kalau lokalisasi ditutup, otomatis bisnis prostitusi itu malah tercecer dan akan sulit untuk dikendalikan. Para pekerja seks pun  menyebar hingga akhirnya sulit terdeteksi aktivitas dan keberadaannya. Mereka pun bakal sulit untuk didesak untuk menjalani uji kesehatan. Akhirnya, prostitusi malah menjamur ke tempat lain. Potensi penularan penyakit seksual pun malah lebih besar. Si hidung belang yang sudah bersuami juga bisa lebih bejat.

Contoh nyata, Lokalisasi Kramat Tunggak yang ada di kawasan Koja, Jakarta Utara. Dulu kawasan itu jauh lebih membahana daripada Dolly. Tapi tahun 1999, Gubernur Sutiyoso menutup lokalisasi itu dan daerah itu disulap jadi Islamic Center. Masalah selesai? Tidak. Kawasan prostitusi tetap saja ada. Bahkan, lokalisasi itu malah pindah ke kawasan Kalijodo.

Menurut saya, ya intinya memang soal pilihan saja. Tidak ada pilihan yang sempurna 100 persen. Balik lagi ini soal kemauan saja. Pemerintah sudah mau, tapi apakah warganya mau? Nah itu dia yang sulit. Saya sendiri bukan pro dengan keberadaan lokalisasi. Tapi saya kontra terhadap dampak penutupannya. Loh gimana sih? hehehe. Saya cuma tidak mau kalau penutupan lokalisasi malah menimbulkan lokalisasi lainnya.


Sekian.