Kamis, 07 April 2011

The Ballad of John and Yoko




Klip di atas merupakan video dari lagu The Beattles yang berjudul The Ballad of John and Yoko. Lagu ini merupakan single dari The Beattles yang dirilis pada bulan Mei 1969. Lagu ini merupakan sebuah balada, dalam artian tradisional, merupakan puisi naratif dalam sebuah lagu, bukan merujuk kepada konteks lagu pop di mana balada dikenal merupakan pengusung lagu berirama lambat.

Lagu ini merupakan salah satu hits dari grup musik asal Liverpool itu yang ke 17, dan  berhasil menduduki puncak tangga lagu di Inggris dan berada di posisi 8 untuk Amerika Serikat. Lagu ini direkam tepatnya tanggal 14 April 1969 atau beberapa hari sebelum sesi rekaman untuk album The Abbey Road dimulai, tepatnya tanggal 18 April 1969. Pada saat itu, rekaman hanya dilakukan oleh John Lennon dan Paul McCartney. Ringgo Starr dan George Harrison tidak terlibat karena memang jadwal resmi rekaman album terbaru mereka tanggap 18 April. Saat itu, Harrison sedang berlibur, sedangkan Ringgo sedang syuting film The Magic Christian

Lagu itu merupakan buah dari inspirasi Lennon yang muncul tiba-tiba. Saat itu, ia segera mengajak McCartney untuk segera melakukan rekaman tanpa menunggu kedatangan dari 2 personel The Beattles lainnya. Proses rekaman tersebut menempatkan Lennon pada vokal utama, memainkan dua gitar utama dan akustik, serta memainkan perkusi. Sedangkan McCartney menyanyikan harmoni vokal, dan memainkan drum, bass, piano, serta marakas. Caranya seperti apa, mungkin hanya kejeniusan di bidang musik jawabannya. Lagu The Ballad of John and Yoko ini merupakan lagu pertama di Inggris dan Eropa yang dirilis dalam format stereo.

The Ballad of John and Yoko sendiri merupakan sebuah "catatan kejadian" pernikahan John Lennon dan Yoko Ono. Lagu ini menceritakan rentetan kejadian yang mereka alami selama bersama-sama, termasuk First Bed-In di Hotel Hilton, Amsterdam, Belanda, serta mendemonstrasikan Bagism

Bagism adalah tempat bagi penggemar John Lennon dan The Beattles untuk bersama-sama belajar dan bersenang-senang. Bagism sendiri merupakan sebuah situs di Internet sehingga penggemarnya bisa berinteraksi secara aktif.

Single ini pun tak lepas dari kontroversi. Di Amerikan Serikat, lagu ini dicekal oleh beberapa stasiun radio karena terdapa kata "Christ" dan "Crucify" dalam liriknya. ("Christ, you know it ain't easy, you know how hard it can be; The way things are going — they're gonna crucify me.").

Selain itu, Jenderal Franco dari Spanyol juga keberatan terhadap lagu ini. Hal tersebut karena dalam lagu tersebut terdapat lirik yang menyebutkan bahwa Gibraltar berada di dekat Spanyol ("You can get married in Gibraltar, near Spain"). Keberatan Jenderal Franco disebabkan karena saat itu Gibraltar masih menjadi sengketa antara Inggris dan Spanyol.


Berikut lirik lagunya:
Standing in the dock at Southampton,
Trying to get to Holland or France.
The man in the mac said, "You've got to turn back".
You know they didn't even give us a chance.

Christ you know it ain't easy,
You know how hard it can be.
The way things are going
They're going to crucify me.

Finally made the plane into Paris,
Honey mooning down by the Seine.
Peter Brown called to say,
"You can make it O.K.,
You can get married in Gibraltar, near Spain".

Christ you know it ain't easy,
You know how hard it can be.
The way things are going
They're going to crucify me.

Drove from Paris to the Amsterdam Hilton,
Talking in our beds for a week.
The newspapers said, "Say what you doing in bed?"
I said, "We're only trying to get us some peace".

Christ you know it ain't easy,
You know how hard it can be.
The way things are going
They're going to crucify me.

Saving up your money for a rainy day,
Giving all your clothes to charity.
Last night the wife said,
"Oh boy, when you're dead
You don't take nothing with you
But your soul - think!"

Made a lightning trip to Vienna,
eating chocolate cake in a bag.
The newspapers said, "She's gone to his head,
They look just like two gurus in drag".

Christ you know it ain't easy,
You know how hard it can be.
The way things are going
They're going to crucify me.

Caught an early plane back to London.
Fifty acorns tied in a sack.
The men from the press said, "We wish you success,
It's good to have the both of you back".

Christ you know it ain't easy,
You know how hard it can be.
The way things are going
They're going to crucify me.
The way things are going
They're going to crucify me

 *sumber: youtube.com dan kapanlagi.com

Selasa, 05 April 2011

Pelesiran dan Studi Banding

  • MESKI tahun lalu sempat dihujat dan dikritik habis-habisan, tahun ini Dewan Perwakilan Rakyat akan kembali melanjutkan kebiasaan kunjungan kerja ke luar negeri, yang dianggap banyak pihak sebagai pemborosan. Kebiasaan yang sama dilakukan pejabat pemerintah-baik pusat maupun daerah-yang mempunyai hobi jalan-jalan ke luar negeri.
    Pada umumnya, kunjungan kerja para pejabat ke luar negeri mempunyai tiga tujuan. Pertama, menghadiri konferensi, semacam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, OKI, IPU, dan AIPO. Kedua, melakukan negosiasi untuk sebuah perundingan. Ini banyak dilakukan oleh tim Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan lain-lain. Termasuk dalam kategori ini pengiriman misi perlindungan warga negara di luar negeri. Ketiga, kunjungan studi banding. Kelompok terakhir inilah yang menjadi masalah dan perlu mendapat perhatian serius. Sebab, kebanyakan studi banding sebenarnya merupakan acara tamasya yang dibiayai dinas.

    Dalam setiap kunjungan kerja, sedikitnya tiga pihak terlibat, yakni instansi yang mengirim rombongan, Kedutaan Besar Republik Indonesia yang mengatur kegiatan selama di suatu negara, dan instansi negara penerima. DPR termasuk "pemasok" kegiatan kunjungan kerja yang cukup tinggi. Dalam setahun, seorang anggota Dewan rata-rata melakukan dua-tiga kali perjalanan dinas ke luar negeri, bahkan lebih, bergantung pada keterlibatannya di panitia khusus, komisi, atau badan-badan di Senayan.

    Karena menjadi salah satu "pemasok" yang tinggi, wajar jika DPR menjadi sorotan, walau, sekali lagi, Dewan bukan satu-satunya lembaga yang mempunyai program kunjungan ke luar negeri. Tingginya program ke luar negeri dari banyak instansi di Indonesia bisa dilihat dari kesibukan perwakilan-perwakilan RI di luar negeri. Mereka terpaksa menempatkan staf lokal khusus mengurus tamu di bandara.

    Kita bisa melihat betapa sibuknya Kedutaan RI di Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Den Haag, dan banyak negara lain. Dalam setahun, rata-rata bisa menerima 4.000-5.000 delegasi resmi-yang dimaksudkan resmi ialah rombongan yang memberi tahu kedutaan dengan mengirim kawat. Jadi, dalam sehari kedutaan menerima rata-rata 10-15 rombongan resmi.

    Kesulitan kedutaan bukan hanya menerima banyaknya anggota rombongan. Kadang-kadang ada dua rombongan dengan tujuan ke instansi sama tapi datang pada hari berbeda. Misalnya, pada pekan pertama datang rombongan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Perbankan untuk bertemu dengan asosiasi perbankan di suatu negara. Pekan berikutnya datang Panitia Khusus RUU Keuangan ingin berdialog dengan asosiasi yang sama. Ini sangat merepotkan. Sebab, sulit sekali kedutaan menjelaskan kepada mitra kerja di negara itu bahwa dua rombongan itu dari panitia khusus yang berbeda.

    Ada ciri yang sama dari tujuan studi banding: negara maju sangat cocok untuk kegiatan "sampingan", yakni berwisata. Kolega saya yang menjabat kepala perwakilan RI di negara-negara kurang maju, seperti Ethiopia, Zimbabwe, Sudan, Senegal, dan Nigeria, jarang menerima kunjungan rombongan. Tujuan utama kunjungan biasanya tiga wilayah, yakni Eropa Barat, Asia Timur/ASEAN/Australia, dan Amerika Utara.

    Dalam banyak kesempatan, terkadang rombongan tanpa malu-malu mengatakan akan lebih banyak berwisata daripada melakukan kunjungan sesungguhnya. Tahun lalu saya nyaris menolak serombongan dari dewan perwakilan rakyat daerah sebuah provinsi di Sumatera. Sebab, dalam surat yang dikirim ke Kedutaan Besar RI di Bern, mereka hanya mengalokasikan waktu enam jam untuk kunjungan kerja selama enam hari.

    Saya langsung memberi instruksi: tidak usah diurus rombongan Dewan yang hanya mau berwisata. Silakan jalan sesukanya di Swiss, tapi Kedutaan tidak akan menstempel formulir surat perintah perjalanan dinas-bukti pertanggungjawaban penggunaan dana untuk perjalanan itu.

    Bahwa kebanyakan kunjungan kerja selama ini hanya jalan-jalan memang bukan cerita bohong. Umumnya satu instansi menyusun alokasi anggaran untuk tujuh hari. Nyatanya, waktu pertemuan resmi hanya dua hari-paling lama empat jam setiap harinya, dua jam pagi hari dan dua jam sore. Selebihnya "free time", yang sering disamarkan dengan "kegiatan pendalaman" untuk masing-masing anggota. Tidak jelas yang dimaksudkan dengan "pendalaman". Yang banyak terjadi, anggota rombongan jalan-jalan sepanjang hari. Masih lumayan kalau ada anggota minta diantar ke toko buku, karena sangat jarang mereka punya hobi baca buku.

    Ada juga rombongan aneh dan tidak masuk akal. Misalnya, banyak rombongan ke Eropa masuk melalui Prancis. Tapi mereka melakukan kunjungan pada musim panas. Padahal, pada saat itu, mayoritas warga Eropa meninggalkan negaranya untuk liburan panjang. Akhirnya anggota Dewan yang terhormat hanya diterima pejabat sekretariat-bukan mitra kerja yang sesuai.

    Sangat wajar jika sekarang banyak tuntutan agar DPR-juga instansi pemerintah-memperbaiki pelaksanaan kunjungan kerja. Bahkan, kalau perlu, studi banding dihentikan sama sekali. Mengapa? Karena perbandingan antara biaya dan hasilnya sangat tidak berimbang. Ambil contoh, untuk perjalanan ke Eropa, seorang anggota memerlukan sekitar US$ 10 ribu. Rata-rata rombongan terdiri atas 13 orang dan dua anggota staf sekretariat. Jadi, untuk satu tim kunjungan kerja, dibutuhkan biaya paling tidak US$ 150 ribu.

    Dalam pertemuan dua jam dengan instansi tujuan, tidak semua anggota berkesempatan bertanya atau berdiskusi. Apalagi jika ada kendala bahasa, misalnya ke negara non-bahasa Inggris. Akan lebih efektif jika pemimpin lembaga di Indonesia-baik DPR, DPRD, Dewan Perwakilan Daerah, maupun instansi pemerintah-lebih memanfaatkan kedutaan. Misalnya kedutaan diminta mencari informasi yang diperlukan.

    Terus terang saja, jika panitia khusus, komisi, DPRD, atau instansi lain bersedia memanfaatkan kedutaan, akan terjadi efisiensi yang luar biasa. Kualitas informasi yang diperoleh juga pasti lebih bagus. Dari pengalaman mengikuti kunjungan sewaktu masih menjadi anggota Dewan, dan kini mengatur kedatangan kunjungan, saya menyimpulkan, kebanyakan informasi yang diperlukan bisa diperoleh jawabannya lewat kedutaan. Jadi buat apa menghabiskan banyak uang untuk kunjungan yang kurang produktif?

    Cara lain adalah mengundang pakar dari luar negeri ke Tanah Air. Banyak lembaga nonpemerintah atau mitra kerja luar negeri yang mau membiayai kedatangan pakar ini. Atau, kalau harus membiayai sendiri, masih jauh lebih murah daripada mengirim rombongan studi banding ke luar negeri. Perkiraan saya, US$ 10 ribu sudah cukup untuk mendatangkan pakar bidang apa pun ke Indonesia. Tentunya pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah bisa lebih selektif dalam mengeluarkan izin perjalanan. Misalnya, izin diberikan jika semua rancangan acara sudah beres dan diperkirakan bisa benar-benar produktif. Selama ini pemimpin Dewan memberikan izin perjalanan kepada panitia khusus atau komisi. Baru kemudian sekretariat bergerak mengatur acara. Dengan demikian, kontrol atas program acara hampir tidak ada, atau sangat lemah.

    Sebagai pemimpin Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bern, saya mewajibkan setiap kunjungan kerja ke Swiss memanfaatkan 70-80 persen waktu untuk acara resmi. Kurang dari alokasi itu, sebaiknya kunjungan ditunda atau dibatalkan. Masalahnya, mau tidak kita mengubah kebiasaan tamasya dengan alasan perjalanan dinas menjadi kunjungan kerja sebenarnya?

    *Djoko Susilo (Duta Besar RI di Swiss); tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
    sumber:
    http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/04/04/KL/mbm.20110404.KL136374.id.html

Senin, 04 April 2011

Orang Tua, Anak, dan Pekerjaan

Seorang anak adalah anugerah dan amanah dari Sang Pencipta. Dan pastinya, setiap orang yang telah hidup berpasangan alias suami-istri, tentu mendambakan kehadiran anak. Jadi, tak diragukan lagi bahwa orang tua pasti akan sangat menyayangi dan mencintai anaknya. Pengecualian bagi yang punya penyakit kejiwaan atau mental. Tapi jika cinta terhadap anak dikaitkan oleh pekerjaan, apa yang kita pilih? Anak atau pekerjaan? Ya kalau saya belum punya anak, jadi susah untuk menjawab.

Suatu ketika ada seorang ayah yang bekerja sebagai seorang penjaga jembatan untuk perlintasan kereta api dan kapal laut (bridgemaster). Seorang ayah tersebut memiliki seorang anak yang begitu ia cintai. Sang anak pun juga menyukai pekerjaan ayahnya karena senang melihat kereta api berlalu-lalang dan orang-orang di dalamnya. Ia pun senan bermain-main di pinggir sungai, tak jauh dari tempat ayahnya bekerja. 

Suatu ketika, si ayah mengangkat jembatan rel kereta api untuk memberikan jalan kepada sebuah kapal untuk lewat. Ketika kapal tersebut sudah lewat, si ayah tak menyadari bahwa tak berapa lama lagi sebuah kereta akan melintasi jembatan tersebut. Si anak yang melihat kereta semakin mendekat mencoba untuk memanggil ayahnya agar segera menurunkan jembatan. Namun sayang, si ayah tak mendengar teriakan anaknya. 

Si anak pun berinisiatif untuk menurunkan jembatan secara manual melalui sebuah palka yang berada di sisi jembatan. Naasnya, si anak tersebut terpeleset dan jatuh ke ruang palka itu. Di sisi lain, si ayah kemudian menyadari bahwa akan ada sebuah kereta api yang akan segera melintas. Si ayah segera menengok ke sisi sungai tempat anaknya bermain beberapa saat yang lalu. Menyadari tak ada anaknya di situ, ia pun segera beranjak untuk segera menurunkan jembatan. Sesaat sebelum menurunkan tuas jembatan, ia melihat anaknya terjatuh ke dalam ruang palka. 

Sesaat ia ingin berlari untuk menolong anaknya, namun ia pun sadar bahwa tak cukup waktu untuk. Saat itu, si ayah merasakan suatu kebimbangan dan kegalauan hati yang luar biasa. Rasa yang mungkin kita juga bingung dengan pilihannya. Si ayang diharuskan pada kenyataan untuk memilih sebuah pilihan yang amat sulit dalam waktu yang begitu sempit, menurunkan jembatan untuk menyelamatkan nyawa banyak orang dengan konsekuensi kehilangan anaknya, atau menyelamatkan anaknya dengan konsekuensi membiarkan jembatan tetap terangkat dan bisa menewaskan orang-orang di dalam kereta api. 

Apakah pilihan si ayah? Menyelamatkan anaknya atau menurunkan tuas dan menyelamatkan nyawa penumpang di dalam kereta api? Check it out!!


So, buat orang-orang yang mengatakan cinta perlu pengorbanan, will you do the same??

Ironi Negeri Sejuta Mangan

“Perayaan HPN 2009 di Jakarta meriah. Perayaan HPN 2010 di Palembang juga tidak kalah meriah. Tapi perayaan HPN 2011 di Kupang, jauh lebih meriah,” puji Ketua Umum PWI Pusat Margiono dalam sambutannya ketika membuka puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 9 Februari lalu.
            Kota Kupang, ibukota provinsi NTT pada 7-9 Februari 2011 memang menjadi tuan rumah kegiatan tahunan masyarakat pers Indonesia itu. Sebuah acara rutin ulang tahun PWI (kali ini yang ke -65) sambil bersilaturahim. Acara ini cukup disukai para insan pers. Maklum, pada acara ini biasanya hampir semua tokoh pers, tokoh pemerintah dan swasta dari pusat dan daerah berkumpul.
            Kali ini kesempatan jadi tuan rumah diberikan pada komunitas pers, pemerintah daerah dan masyarakat NTT. Makanya, wajar jika untuk itu mereka sibuk berbenah. Semua sarana dan prasarana publik tampak dirapikan. Kota Kupang pun kelihatan bersih. Hampir di semua tempat strategis tampak terpasang spanduk, umbul-umbul dan poster-poster berisi ucapan selamat datang dan elu-eluan menyambut peringatan HPN 2011.
Tetamu peserta HPN mulai ramai berdatangan ke Kupang sejak tanggal 7 Februari. Hotel-hotel terisi penuh. Bidang akomodasi Panitia Pelaksana HPN agaknya terlihat paling sibuk mengatasi membeludaknya tetamu. Namun, satu hal yang patut dicatat dan diakui beberapa wartawan senior, belum  pernah terjadi dalam sejarah perhelatan HPN: RI Satu alias Presiden Republik Indonesia mau datang membuka HPN 2011, dan setelah itu menginap selama tiga hari di NTT. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta rombongan memang sudah berada di Kupang sehari sebelum puncak peringatan HPN.
Rangkaian acara HPN yang padat dari tanggal 7-10 Februari 2011, membuat hampir semua insan mata media menyorot ke NTT, provinsi penghasil kayu cendana dengan populasi sekitar 4,6 juta jiwa. Kehadiran orang nomor satu di Indonesia pun,  ikut menjadi daya tarik utamanya. Betapa tidak, baru kali ini sejak Indonesia merdeka, NTT menjadi tempat menginap presiden selama tiga hari. Bahkan Presiden Soeharto, yang pernah berkuasa selama 32 tahun, belum pernah sehari pun menghabiskan waktu kerjanya di NTT.
Contoh batu mangan yang memiliki kualitas tinggi.
            Momen itulah yang membuat Gubernur NTT Frans Lebu Raya terlihat sibuk luar biasa.   Ia  dan staf bahkan sudah bekerja beberapa bulan sebelum hari H tiba. Dia  bergerak dari satu tempat acara ke tempat acara yang lain, untuk meninjau semua persiapan menyambut kedatangan presiden dalam rangka Hari Pers Nasional sekaligus kunjungan kerja tambahannya. Bersama  presiden, tampak juga ikut sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara lainnya. Selain itu, tentu saja, para insan pers dari seluruh Indonesia..
            Tertinggal dan kurang perhatian. Mungkin itulah pandangan umum alias stigma masyarakat ketika mendengar nama Nusa Tenggara Timur. NTT memang jauh dari pusat kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sering menjadi porsi utama pemberitaan di media massa. Bisa dipahami, provinsi kepulauaun ini memang terletak cukup jauh dari pulau Jawa yang seakan menjadi “nyawa” Indonesia.
Di balik kemeriahan perayaan HPN tersebut, sejatinya NTT memiliki berbagai potensi alam yang cukup menjanjikan. “Provinsi Komodo” ini setidaknya memiliki potensi perikanan, pertanian, perkebunan, dan pertambangan yang cukup baik. Namun potensi-potensi ekonomi tersebut masih belum tergarap dan digarap dengan baik. Salah satu contohnya di sektor pertambangan adalah batu mangan. Rumus kimiawinya Mn. Sering juga disebut manganese ore. Bahan tambang ini  banyak ditemukan di NTT. Khususnya di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, dan Manggarai. Kualitas batu tambang NTT ini sebenarnya salah satu yang terbaik di dunia. Namun, bahan tambang yang sangat diperlukan, antara lain, untuk  peleburan  logam untuk tambahan campuran membuat besi-baja,  dan sejumlah keperluan kimiawi lainnya itu, belum diolah secara optimal.    
Padahal, potensi pertambangan mangan sendiri sebetulnya cukup menjanjikan di NTT. Secara sporadis batu tambang ini sudah digali dan dijual oleh sebagian masyarakat NTT. Mereka menjualnya ke daerah lain untuk diekspor ke beberapa negara seperti Jepang dan RRC. Sudah ada pasar penampungnya, memang. Sumber daya alam ini setidaknya memang tengah “naik daun” dalam beberapa tahun terakhir berkat temuan kandungan kadar mangan yang cukup tinggi (rata-rata bisa mencapai hampir 60 persen). Di beberapa tempat di Kabupaten Kupang, orang tak perlu menggali hingga beberapa puluh meter ke dalam tanah. Cukup menggali satu meter saja, batu mangan tersebut sudah bisa dikumpulkan. Bahkan di beberapa tempat, ada bongkahan batu mangan sudah tampak menganga di tanah. Dengan begitu, mangan tersebut cukup diambil dengan menggunakan linggis.
Demikian diutarakan Jonius, pria berusia lebih 60 tahun, warga Desa Naioni, Kecamatan Alak, Kabupaten Kupang, NTT. “Potensi mangan di sini cukup bagus. Gali satu meter saja sudah dapat mangan. Kalau digali terus, masih ada mangan lagi,” kata Jonius, yang juga ketua RT 16/RW007. Bahkan, dia menambahkan, sebenarnya di seluruh tanah desanya batu mangan bisa ditambang di mana saja. “Tapi nanti kalau semua ditambang kita mau tinggal di mana,” tukas pria paruh baya tersebut.
Desa Naioni merupakan sebuah desa yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Kupang dengan kota Kupang bagian selatan. Penduduk yang tinggal di Desa Naioni ini umumnya masih tinggal di rumah yang sederhana. Kayu dan bambu ada bahan “pokok” rumah mereka dan masih tergolong sebagai rumah semi permanen. Bentuknya pun sederhana, hanya berupa petakan seluas 4x6 meter. Bukan satu atau dua rumah, melainkan hampir semua rumah. Kesederhanaan, kalau tidak disebut kemiskinan, itulah yang membuat warga beralih pekerjaan.
 Jonius bersama dengan warga Naioni lainnya beralih pekerjaan dari berkebun dan bertani menjadi menambang mangan. Dengan menambang mangan, “Penghasilan warga juga jadi bertambah. Jadi ini sangat membantu perekonomian kami sekali,” kata Jonius.
Warga lain di Naioni sepakat dengan Jonius. Milianu, 45 tahun, juga mulai beralih pekerjaan dari berkebun menjadi menambang mangan. Sebelumnya ia menanam jagung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sudah setahun ia menambang mangan karena memang keuntungan yang didapatkan dari menambang mangan jauh lebih besar dari hasil berkebun jagung.
Jonius dan Milianu hidup bertetangga di Desa Naioni. Mereka bersama warga Naioni lainnya menambang mangan di sebuah area yang lokasinya begitu curam untuk dilewati. Menurut Jonius, untuk perjalanan menuju daerah tambang lebih mudah karena hanya menuruni tebing. Tapi lain soal ketika akan pulang ke rumah. Para penambang lokal tersebut harus jalan seperti mendaki tebing. Hal itu dilakukan karena memang tidak ada jalan lain untuk menuju daerah itu.
“Untuk pulangnya kita memang harus setengah mati untuk bisa kembali ke rumah,” tutur Jonius. Sedangkan untuk mengangkut mangan hasil tambang, mereka biasa menggunakan katrol sederhana yang dibuat secara tradisional. Warga Naioni rela melakukan itu semua mengingat keuntungan yang cukup besar dari menambang mangan tersebut.
Untuk satu kilogram mangan, mereka menjual kepada pembeli dengan harga Rp 1.400,- dan biasanya mereka menjual minimal per karung. Tiap karung tersebut dapat memuat mangan sebanyak 50 kilogram. Jadi untuk tiap karungnya, mereka mampu mendapatkan sekitr Rp 70.000,-. “Rata-rata per hari warga bisa menjual sampai 5-10 karung. Tergantung permintaan saja,” ungkap pria berambut putih tersebut.
Menambang mangan juga tidak bisa sembarangan. “Untuk menambangnya, kita harus tahu pola mangan dulu, karena mangan juga tidak merata ada di seluruh tanah. Jadi kalau sudah tahu polanya, menambang jadi lebih mudah,” kata Jefri, 46, warga Naioni yang juga kerap menambang mangan.
Selain masalah pola, yang perlu diperhatikan oleh para penambang juga cara menambangnya. Menurut kepercayaan masyarakat Naioni dan NTT secara umum, masyarakat tidak boleh menambang kekayaan alam di NTT secara sembarangan. Selain itu, ketika menambang, masyarakat juga diharuskan untuk memperhatikan dampak penambangan tersebut agar tidak merusak lingkungan tempat manusia tinggal.
“Beberapa waktu lalu pernah ada pengusaha yang mau menambang mangan, tetapi kami tolak karena menggunakan mesin. Takut merusak lingkungan,” Jonius menceritakan. Selain karena menggunakan mesin atau ekskavator, penolakan itu juga karena pengusaha itu tak mencapai sepakat dengan Kepala Adat setempat. Penolakan warga sekitar seputar penggunaan ekskavator menurut warga cukup beralasan.
Selain menimbulkan kerusakan lingkungan akibat bekas galian tambang, penggunaan ekskavator dapat menimbulkan tanah longsor mengingat lokasi penambangan berupa tebing dan dekat dengan rumah penduduk. Oleh karena itu, warga Naioni pun menggunakan alat sederhana dan tradisional untuk melakukan kegiatan penambangan tersebut.
“Kalau yang tradisional seperti kami, setelah menggali langsung ditutup lagi. Istilahnya gali lobang tutup lobang, jadi lingkungan masih tetap terjaga” kata Jonius.

Regulasi yang Tak Jelas
Di dunia, mangan sendiri sekitar 90% digunakan untuk peleburan logam (metalurgi), yaitu proses untuk membuat besi dan baja. Sedangkan sekitar 10% sisanya digunakan untuk memproduksi baterai kering, keramik, gelas, dan kimia. Tubuh manusia sendiri membutuhkan mangan untuk proses metabolisme tubuh.
            Ion-ion mangan membantu metabolisme tubuh melalui glukosa atau zat gula. Tetapi tentu saja kebutuhan mangan untuk tubuh manusia, ada dalam kadar tertentu. Jika berlebihan maka akan merusak hati, mengakibatkan iritasi, hingga menyebabkan kanker pada manusia dan membunuh hewan atau tumbuhan melalui rantai makanan (food chain).
            Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, mengakui bahwa potensi mangan yang terkandung di dalam tanah NTT sebenarnya cukup besar. Oleh karena itu, potensi mangan tersebut masih bisa dan akan dikembangkan nantinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTT.
            “Potensi NTT di sektor mangan memang cukup besar dan masih bisa dikembangkan. Soal pro-kontra yang muncul seputar pertambangan mangan, saya kira itu merupakan hal yang biasa. Bagi saya yang terpenting adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat NTT,” tutur Gubernur, seusai menghadiri diskusi di rangkaian acara peringatan HPN 2011.
            Soal potensi kerusakan lingkungan yang diakibatkan penambangan mangan, lanjut Frans, bisa diatasi dengan menggunakan metode pengembangan tambang yang ramah lingkungan. Intinya, menurut gubernur, adalah peningkatan kesejahteraan rakyat yang berbasis ramah lingkungan.
            Potensi mangan yang cukup baik di NTT ironisnya terkesan tidak ditangani dengan maksimal. Hal tersebut setidaknya terlihat dari implementasi regulasi pertambangan. Dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) seputar pertambangan masih belum ditunjang dengan adanya Peraturan Gubernur (Pergub) untuk melaksanakan Perda tadi. Akibatnya regulasi menjadi bias dan menimbulkan berbagai penafsiran.
            Bias Perda tersebut akhirnya membuat tiap Bupati yang ada NTT mengeluarkan peraturan masing-masing sebagai tindak lanjut Perda. Imbasnya, peraturan semakin tidak jelas dan berbeda-beda. Pada akhirnya, masyarakat yang menjadi bingung. Seputar regulasi yang belum jelas tersebut dibenarkan oleh Jonius.
            Saat ini aktivitas tambang di Desa Naioni dihentikan sementara waktu sampai diterbitkannya Pergub seputar tambang. Penghentian itu, menurut Jonius, karena beberapa waktu yang lalu sempat terjadi insiden. Yakni, berupa penembakan yang dilakukan petugas polisi kepada Kepala Lurah Naioni. Meski peluru tidak sampai “mampir” di tubuh sang Lurah, insiden tersebut menjadi pemicu dihentikannya aktivitas tambang.
            Penembakan tersebut, menurut Yusak, 28, petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang ditugaskan menjaga kawasan tambang tersebut, disebabkan peraturan yang memang belum jelas. “Lurah itu mencoba melaksanakan peraturan Bupati bahwa aktivitas penambangan tidak diperkenankan hingga terbitnya Pergub, sehingga ketika ada truk bermuatan mangan membawa hasil mangan keluar Naioni, dia melarangnya. Tapi yang salah, ia “berlaku” seperti polisi dengan memeriksa dan menahan surat-surat truk tersebut. Harusnya itu dilakukan oleh polisi, ” kata laki-laki yang sudah hampir satu bulan ditugaskan menjaga daerah tersebut.
            Peristiwa penembakan tersebut hanya salah satu contoh imbas dari regulasi yang belum selaras. Seperti yang dilaporkan sebelumnya, terdapat ratusan kontainer berisi mangan yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kontainer tersebut dijadikan bukti kasus perdagangan ilegal (illegal trading) oleh Polres Pelabuhan Tanjung Perak. Hal tersebut tidak hanya dipermasalahkan oleh para pengusaha, tetapi juga dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
            “Mengapa mangan itu bisa keluar dari NTT, tetapi tertahan di Surayaba. Pasti itu ada “main” sama aparat. Kasihan pengusaha jadinya,” ujar Benny K. Harman, Ketua Komisi III DPR-RI, ketika menjadi salah satu pembicara dalam seminar bertajuk “Masa Depan Pertambangan Nusa Tenggara Timur” di Kupang, NTT.
            Selain itu, Benny juga mengindikasikan adanya ketidakberesan antara institusi yang terkait soal regulasi pertambangan mangaan. Pria asal NTT itu mengatakan, memang ada beberapa masalah yang perlu diselesaikan mengenai pertambangan itu sendiri, yakni pasal-pasal peralihan yang digunakan dalam UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) masih membingungkan.
Di satu sisi, UU tersebut memperbolehkan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah ada tetap berlaku hingga masa kontrak atau perjanjiannya berakhir. Tetapi dalam menjalankan sisa berlakunya, ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan perjanjian harus disesuaikan dengan UU yang baru. Ketentuan peralihan itulah yang memaksa para pihak untuk mengubah kontrak atau perjanjian.
Masalah lain adalah pasal 43 ayat (2) UU Minerba, menyebutkan bahwa jika perusahaan hanya mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan memiliki Izin Pengangkutan dan Penjualan Sementara yang dikeluarkan pemerintah setempat, maka perusahaan tersebut tetap bisa melakukan produksi pertambangan. Ironisnya, dalam UU yang sama pasal 160 ayat (2), menyebutkan bahwa setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun, dan dengan maksimal Rp 10 miliar.
Kemelut UU tersebutlah yang mengakibatkan tertahannya ratusan kontainer mangan asal NTT tadi di Surabaya dan insiden penembakan di Naioni. “Memang apa bedanya polisi di NTT dan polisi di Surabaya? Kan sama-sama polisi Indonesia. Jadi di NTT itu merupakan surga bagi para penambang, karena hukum yang ada lemah, aparat turut “bermain”, dan birokrasinya lembek,” sindir politisi Partai Demokrat itu.
Ironisnya Pemerintah NTT sendiri, melalui Dinas Pertambangan, juga mengakui bahwa hingga saat ini mereka masih belum memiliki peta tambang. Padahal peran peta tambang tersebut cukup vital untuk mengatur dan mengeluarkan izin pertambangan bagi perusahaan tambang.
“Memang kami pun masih belum memiliki peta tambang tersebut, karena memang belum ada dana dari pemerintah setempat, baik kabupaten maupun kota. Jadi kami harus menunggu dana tersebut dialokasikan, barulah  peta itu bisa dibuat,” kata Bria Yohanes, Kepala Dinas Pertambangan NTT.
Bria mengatakan, jika menggunakan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, peta tambang harus dibuat sendiri oleh perusahaan yang mengajukan izin tambang kepada pemerintah. Tetapi dengan berlakunya UU Minerba, pemerintah yang harus membuat sendiri peta tambang tersebut dan kemudian dilelang kepada perusahaan yang tertarik untuk mengajukan izin tambang.
Menanggapi kecaman berbagai pihak karena Pemerintah NTT tetap memberikan IUP meskipun belum ada peta tambang, Bria menegaskan bahwa IUP yang keluar tersebut dikarenakan mengacu pada UU No. 11 Tahun 1967, sedangkan sejak diberlakukannya UU Minerba 2009 lalu, kata Bria, tidak ada satu pun IUP yang dikeluarkan Pemerintah NTT.
“Memang kendalanya adalah pemakaian UU tahun 1967 itu, padahal kan seharusnya UU 2009. Jadi tidak benar jika kami tetap mengeluarkan izin pertambangan, sementara kami tidak punya peta tambang,” tutur Bria.
Ironi itulah yang kini harus dihadapi oleh provinsi NTT. Negeri ini kaya dengan sumber daya alam. Selain mangan yang amat potensial, hasil pertambangan lainnya adalah emas, nikel, batubara, timah, minyak dan gas, tembaga, timbal dan besi. Namun, semua sumber daya itu belum diolah seperti di daerah lainnya. Itu juga kiranya yang menyebabkan.   provinsi kepulauan—tercatat memiliki 1192 pulau—ini sampai sekarang masih cukup tertinggal dari provinsi-provinsi lainnya. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) 2010 menyebutkan bahwa, meski terus meningkat setiap tahunnya, pendapatan perkapita NTT cuma sekitar Rp 5.230.000,- atau hanya seperlima dari pendapatan perkapita nasional yang kini mencapai Rp 24.260.000,-. Angka pendapatan perkapita NTT tersebut hampir setara dengan pendapatan perkapita Indonesia tahun 1997, yakni tatkala pendapatan perkapita Indonesia mencapai Rp 5.440.000,-.
Potensi mangan di sektor pertambangan yang cukup besar sayangnya belum sepenuhnya diolah secara maksimal. Begitu pula beberapa potensi sumber penerimaan daerah lainnya, sebutlah, misalnya, perikanan. Sebagai provinsi aquatic terresterial, di mana wilayah perairan lebih luas dari daratan, NTT tentu memiliki potensi yang sangat besar di bidang perikanan. Tapi, lagi-lagi ironi. Hasil tangkapan ikan di NTT malah  mengalami penurunan dua tahun terakhir. Total tangkapan sebanyak 99.543 ton pada 2009 lalu masih jauh dibandingkan tangkapan tahun 2007 yang mencapai 101.217 ton ikan.
 Itulah data dan itulah realitas. Untuk mengatasi semua kelemahan itu, terbentang  sudah pekerjaan rumah yang cukup besar bagi pemerintah. Baik pusat maupun provinsi.  Di balik kekayaan alam yang melimpah, masih banyak pula warga NTT yang belum menikmati standar hidup yang memadai. Buktinya, dalam menikmati aliran listrik. Daya kapasitas terpasang listrik  di daerah ini  sampai HPN diselenggarakan, baru memenuhi kebutuhan 27% saja. Kenyataan ini sempat  membuat miris dirut baru PLN. “Saya berjanji sampai akhir tahun ini kapasitas itu akan bisa ditingkatkan sampai 70 persen,” kata Dirut PLN Dahlan Iskan, yang bersama beberapa narasumber lain tampil dalam diskusi khusus ekonomi di HPN 2011.
Dari peringatan HPN 2011 yang amat semarak di Kupang, di mana hampir semua mata tertuju ke  provinsi, yang disebut Gubernur Frans Lebu Raya, sebagai “penjaga setia” NKRI itu,  warga NTT tentu sangat berharap pemerintah segera mencarikan jalan agar  kekayaan alam dan sumber daya lainnya di NTT, dapat segera diolah guna dimanfaatkan bagi peningkatkan kesejahteraan mereka.  Tentu, seperti yang dikatakan Gubernur Frans Lebu Raya, sesuai konsep dan visi warga NTT, “Peningkatan kesejahteraan rakyat berbasis ramah lingkungan”.
Kalau itu bisa diwujudkan nanti, maka masyarakat dan pemrov NTT yang baru mendapat “hadiah tambahan dana APBN” sebesar Rp 5 triliun, akan mengenang HPN dan membenarkan tema utamanya: “kemerdekaan pers dari rakyat dan untuk rakyat”.


*Dimuat di www.majalah-diurna.com dalam peringata Hari Pers Nasional di Kupang, NTT.