Senin, 04 April 2011

Ironi Negeri Sejuta Mangan

“Perayaan HPN 2009 di Jakarta meriah. Perayaan HPN 2010 di Palembang juga tidak kalah meriah. Tapi perayaan HPN 2011 di Kupang, jauh lebih meriah,” puji Ketua Umum PWI Pusat Margiono dalam sambutannya ketika membuka puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 9 Februari lalu.
            Kota Kupang, ibukota provinsi NTT pada 7-9 Februari 2011 memang menjadi tuan rumah kegiatan tahunan masyarakat pers Indonesia itu. Sebuah acara rutin ulang tahun PWI (kali ini yang ke -65) sambil bersilaturahim. Acara ini cukup disukai para insan pers. Maklum, pada acara ini biasanya hampir semua tokoh pers, tokoh pemerintah dan swasta dari pusat dan daerah berkumpul.
            Kali ini kesempatan jadi tuan rumah diberikan pada komunitas pers, pemerintah daerah dan masyarakat NTT. Makanya, wajar jika untuk itu mereka sibuk berbenah. Semua sarana dan prasarana publik tampak dirapikan. Kota Kupang pun kelihatan bersih. Hampir di semua tempat strategis tampak terpasang spanduk, umbul-umbul dan poster-poster berisi ucapan selamat datang dan elu-eluan menyambut peringatan HPN 2011.
Tetamu peserta HPN mulai ramai berdatangan ke Kupang sejak tanggal 7 Februari. Hotel-hotel terisi penuh. Bidang akomodasi Panitia Pelaksana HPN agaknya terlihat paling sibuk mengatasi membeludaknya tetamu. Namun, satu hal yang patut dicatat dan diakui beberapa wartawan senior, belum  pernah terjadi dalam sejarah perhelatan HPN: RI Satu alias Presiden Republik Indonesia mau datang membuka HPN 2011, dan setelah itu menginap selama tiga hari di NTT. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta rombongan memang sudah berada di Kupang sehari sebelum puncak peringatan HPN.
Rangkaian acara HPN yang padat dari tanggal 7-10 Februari 2011, membuat hampir semua insan mata media menyorot ke NTT, provinsi penghasil kayu cendana dengan populasi sekitar 4,6 juta jiwa. Kehadiran orang nomor satu di Indonesia pun,  ikut menjadi daya tarik utamanya. Betapa tidak, baru kali ini sejak Indonesia merdeka, NTT menjadi tempat menginap presiden selama tiga hari. Bahkan Presiden Soeharto, yang pernah berkuasa selama 32 tahun, belum pernah sehari pun menghabiskan waktu kerjanya di NTT.
Contoh batu mangan yang memiliki kualitas tinggi.
            Momen itulah yang membuat Gubernur NTT Frans Lebu Raya terlihat sibuk luar biasa.   Ia  dan staf bahkan sudah bekerja beberapa bulan sebelum hari H tiba. Dia  bergerak dari satu tempat acara ke tempat acara yang lain, untuk meninjau semua persiapan menyambut kedatangan presiden dalam rangka Hari Pers Nasional sekaligus kunjungan kerja tambahannya. Bersama  presiden, tampak juga ikut sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara lainnya. Selain itu, tentu saja, para insan pers dari seluruh Indonesia..
            Tertinggal dan kurang perhatian. Mungkin itulah pandangan umum alias stigma masyarakat ketika mendengar nama Nusa Tenggara Timur. NTT memang jauh dari pusat kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sering menjadi porsi utama pemberitaan di media massa. Bisa dipahami, provinsi kepulauaun ini memang terletak cukup jauh dari pulau Jawa yang seakan menjadi “nyawa” Indonesia.
Di balik kemeriahan perayaan HPN tersebut, sejatinya NTT memiliki berbagai potensi alam yang cukup menjanjikan. “Provinsi Komodo” ini setidaknya memiliki potensi perikanan, pertanian, perkebunan, dan pertambangan yang cukup baik. Namun potensi-potensi ekonomi tersebut masih belum tergarap dan digarap dengan baik. Salah satu contohnya di sektor pertambangan adalah batu mangan. Rumus kimiawinya Mn. Sering juga disebut manganese ore. Bahan tambang ini  banyak ditemukan di NTT. Khususnya di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, dan Manggarai. Kualitas batu tambang NTT ini sebenarnya salah satu yang terbaik di dunia. Namun, bahan tambang yang sangat diperlukan, antara lain, untuk  peleburan  logam untuk tambahan campuran membuat besi-baja,  dan sejumlah keperluan kimiawi lainnya itu, belum diolah secara optimal.    
Padahal, potensi pertambangan mangan sendiri sebetulnya cukup menjanjikan di NTT. Secara sporadis batu tambang ini sudah digali dan dijual oleh sebagian masyarakat NTT. Mereka menjualnya ke daerah lain untuk diekspor ke beberapa negara seperti Jepang dan RRC. Sudah ada pasar penampungnya, memang. Sumber daya alam ini setidaknya memang tengah “naik daun” dalam beberapa tahun terakhir berkat temuan kandungan kadar mangan yang cukup tinggi (rata-rata bisa mencapai hampir 60 persen). Di beberapa tempat di Kabupaten Kupang, orang tak perlu menggali hingga beberapa puluh meter ke dalam tanah. Cukup menggali satu meter saja, batu mangan tersebut sudah bisa dikumpulkan. Bahkan di beberapa tempat, ada bongkahan batu mangan sudah tampak menganga di tanah. Dengan begitu, mangan tersebut cukup diambil dengan menggunakan linggis.
Demikian diutarakan Jonius, pria berusia lebih 60 tahun, warga Desa Naioni, Kecamatan Alak, Kabupaten Kupang, NTT. “Potensi mangan di sini cukup bagus. Gali satu meter saja sudah dapat mangan. Kalau digali terus, masih ada mangan lagi,” kata Jonius, yang juga ketua RT 16/RW007. Bahkan, dia menambahkan, sebenarnya di seluruh tanah desanya batu mangan bisa ditambang di mana saja. “Tapi nanti kalau semua ditambang kita mau tinggal di mana,” tukas pria paruh baya tersebut.
Desa Naioni merupakan sebuah desa yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Kupang dengan kota Kupang bagian selatan. Penduduk yang tinggal di Desa Naioni ini umumnya masih tinggal di rumah yang sederhana. Kayu dan bambu ada bahan “pokok” rumah mereka dan masih tergolong sebagai rumah semi permanen. Bentuknya pun sederhana, hanya berupa petakan seluas 4x6 meter. Bukan satu atau dua rumah, melainkan hampir semua rumah. Kesederhanaan, kalau tidak disebut kemiskinan, itulah yang membuat warga beralih pekerjaan.
 Jonius bersama dengan warga Naioni lainnya beralih pekerjaan dari berkebun dan bertani menjadi menambang mangan. Dengan menambang mangan, “Penghasilan warga juga jadi bertambah. Jadi ini sangat membantu perekonomian kami sekali,” kata Jonius.
Warga lain di Naioni sepakat dengan Jonius. Milianu, 45 tahun, juga mulai beralih pekerjaan dari berkebun menjadi menambang mangan. Sebelumnya ia menanam jagung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sudah setahun ia menambang mangan karena memang keuntungan yang didapatkan dari menambang mangan jauh lebih besar dari hasil berkebun jagung.
Jonius dan Milianu hidup bertetangga di Desa Naioni. Mereka bersama warga Naioni lainnya menambang mangan di sebuah area yang lokasinya begitu curam untuk dilewati. Menurut Jonius, untuk perjalanan menuju daerah tambang lebih mudah karena hanya menuruni tebing. Tapi lain soal ketika akan pulang ke rumah. Para penambang lokal tersebut harus jalan seperti mendaki tebing. Hal itu dilakukan karena memang tidak ada jalan lain untuk menuju daerah itu.
“Untuk pulangnya kita memang harus setengah mati untuk bisa kembali ke rumah,” tutur Jonius. Sedangkan untuk mengangkut mangan hasil tambang, mereka biasa menggunakan katrol sederhana yang dibuat secara tradisional. Warga Naioni rela melakukan itu semua mengingat keuntungan yang cukup besar dari menambang mangan tersebut.
Untuk satu kilogram mangan, mereka menjual kepada pembeli dengan harga Rp 1.400,- dan biasanya mereka menjual minimal per karung. Tiap karung tersebut dapat memuat mangan sebanyak 50 kilogram. Jadi untuk tiap karungnya, mereka mampu mendapatkan sekitr Rp 70.000,-. “Rata-rata per hari warga bisa menjual sampai 5-10 karung. Tergantung permintaan saja,” ungkap pria berambut putih tersebut.
Menambang mangan juga tidak bisa sembarangan. “Untuk menambangnya, kita harus tahu pola mangan dulu, karena mangan juga tidak merata ada di seluruh tanah. Jadi kalau sudah tahu polanya, menambang jadi lebih mudah,” kata Jefri, 46, warga Naioni yang juga kerap menambang mangan.
Selain masalah pola, yang perlu diperhatikan oleh para penambang juga cara menambangnya. Menurut kepercayaan masyarakat Naioni dan NTT secara umum, masyarakat tidak boleh menambang kekayaan alam di NTT secara sembarangan. Selain itu, ketika menambang, masyarakat juga diharuskan untuk memperhatikan dampak penambangan tersebut agar tidak merusak lingkungan tempat manusia tinggal.
“Beberapa waktu lalu pernah ada pengusaha yang mau menambang mangan, tetapi kami tolak karena menggunakan mesin. Takut merusak lingkungan,” Jonius menceritakan. Selain karena menggunakan mesin atau ekskavator, penolakan itu juga karena pengusaha itu tak mencapai sepakat dengan Kepala Adat setempat. Penolakan warga sekitar seputar penggunaan ekskavator menurut warga cukup beralasan.
Selain menimbulkan kerusakan lingkungan akibat bekas galian tambang, penggunaan ekskavator dapat menimbulkan tanah longsor mengingat lokasi penambangan berupa tebing dan dekat dengan rumah penduduk. Oleh karena itu, warga Naioni pun menggunakan alat sederhana dan tradisional untuk melakukan kegiatan penambangan tersebut.
“Kalau yang tradisional seperti kami, setelah menggali langsung ditutup lagi. Istilahnya gali lobang tutup lobang, jadi lingkungan masih tetap terjaga” kata Jonius.

Regulasi yang Tak Jelas
Di dunia, mangan sendiri sekitar 90% digunakan untuk peleburan logam (metalurgi), yaitu proses untuk membuat besi dan baja. Sedangkan sekitar 10% sisanya digunakan untuk memproduksi baterai kering, keramik, gelas, dan kimia. Tubuh manusia sendiri membutuhkan mangan untuk proses metabolisme tubuh.
            Ion-ion mangan membantu metabolisme tubuh melalui glukosa atau zat gula. Tetapi tentu saja kebutuhan mangan untuk tubuh manusia, ada dalam kadar tertentu. Jika berlebihan maka akan merusak hati, mengakibatkan iritasi, hingga menyebabkan kanker pada manusia dan membunuh hewan atau tumbuhan melalui rantai makanan (food chain).
            Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, mengakui bahwa potensi mangan yang terkandung di dalam tanah NTT sebenarnya cukup besar. Oleh karena itu, potensi mangan tersebut masih bisa dan akan dikembangkan nantinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTT.
            “Potensi NTT di sektor mangan memang cukup besar dan masih bisa dikembangkan. Soal pro-kontra yang muncul seputar pertambangan mangan, saya kira itu merupakan hal yang biasa. Bagi saya yang terpenting adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat NTT,” tutur Gubernur, seusai menghadiri diskusi di rangkaian acara peringatan HPN 2011.
            Soal potensi kerusakan lingkungan yang diakibatkan penambangan mangan, lanjut Frans, bisa diatasi dengan menggunakan metode pengembangan tambang yang ramah lingkungan. Intinya, menurut gubernur, adalah peningkatan kesejahteraan rakyat yang berbasis ramah lingkungan.
            Potensi mangan yang cukup baik di NTT ironisnya terkesan tidak ditangani dengan maksimal. Hal tersebut setidaknya terlihat dari implementasi regulasi pertambangan. Dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) seputar pertambangan masih belum ditunjang dengan adanya Peraturan Gubernur (Pergub) untuk melaksanakan Perda tadi. Akibatnya regulasi menjadi bias dan menimbulkan berbagai penafsiran.
            Bias Perda tersebut akhirnya membuat tiap Bupati yang ada NTT mengeluarkan peraturan masing-masing sebagai tindak lanjut Perda. Imbasnya, peraturan semakin tidak jelas dan berbeda-beda. Pada akhirnya, masyarakat yang menjadi bingung. Seputar regulasi yang belum jelas tersebut dibenarkan oleh Jonius.
            Saat ini aktivitas tambang di Desa Naioni dihentikan sementara waktu sampai diterbitkannya Pergub seputar tambang. Penghentian itu, menurut Jonius, karena beberapa waktu yang lalu sempat terjadi insiden. Yakni, berupa penembakan yang dilakukan petugas polisi kepada Kepala Lurah Naioni. Meski peluru tidak sampai “mampir” di tubuh sang Lurah, insiden tersebut menjadi pemicu dihentikannya aktivitas tambang.
            Penembakan tersebut, menurut Yusak, 28, petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang ditugaskan menjaga kawasan tambang tersebut, disebabkan peraturan yang memang belum jelas. “Lurah itu mencoba melaksanakan peraturan Bupati bahwa aktivitas penambangan tidak diperkenankan hingga terbitnya Pergub, sehingga ketika ada truk bermuatan mangan membawa hasil mangan keluar Naioni, dia melarangnya. Tapi yang salah, ia “berlaku” seperti polisi dengan memeriksa dan menahan surat-surat truk tersebut. Harusnya itu dilakukan oleh polisi, ” kata laki-laki yang sudah hampir satu bulan ditugaskan menjaga daerah tersebut.
            Peristiwa penembakan tersebut hanya salah satu contoh imbas dari regulasi yang belum selaras. Seperti yang dilaporkan sebelumnya, terdapat ratusan kontainer berisi mangan yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kontainer tersebut dijadikan bukti kasus perdagangan ilegal (illegal trading) oleh Polres Pelabuhan Tanjung Perak. Hal tersebut tidak hanya dipermasalahkan oleh para pengusaha, tetapi juga dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
            “Mengapa mangan itu bisa keluar dari NTT, tetapi tertahan di Surayaba. Pasti itu ada “main” sama aparat. Kasihan pengusaha jadinya,” ujar Benny K. Harman, Ketua Komisi III DPR-RI, ketika menjadi salah satu pembicara dalam seminar bertajuk “Masa Depan Pertambangan Nusa Tenggara Timur” di Kupang, NTT.
            Selain itu, Benny juga mengindikasikan adanya ketidakberesan antara institusi yang terkait soal regulasi pertambangan mangaan. Pria asal NTT itu mengatakan, memang ada beberapa masalah yang perlu diselesaikan mengenai pertambangan itu sendiri, yakni pasal-pasal peralihan yang digunakan dalam UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) masih membingungkan.
Di satu sisi, UU tersebut memperbolehkan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah ada tetap berlaku hingga masa kontrak atau perjanjiannya berakhir. Tetapi dalam menjalankan sisa berlakunya, ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan perjanjian harus disesuaikan dengan UU yang baru. Ketentuan peralihan itulah yang memaksa para pihak untuk mengubah kontrak atau perjanjian.
Masalah lain adalah pasal 43 ayat (2) UU Minerba, menyebutkan bahwa jika perusahaan hanya mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan memiliki Izin Pengangkutan dan Penjualan Sementara yang dikeluarkan pemerintah setempat, maka perusahaan tersebut tetap bisa melakukan produksi pertambangan. Ironisnya, dalam UU yang sama pasal 160 ayat (2), menyebutkan bahwa setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun, dan dengan maksimal Rp 10 miliar.
Kemelut UU tersebutlah yang mengakibatkan tertahannya ratusan kontainer mangan asal NTT tadi di Surabaya dan insiden penembakan di Naioni. “Memang apa bedanya polisi di NTT dan polisi di Surabaya? Kan sama-sama polisi Indonesia. Jadi di NTT itu merupakan surga bagi para penambang, karena hukum yang ada lemah, aparat turut “bermain”, dan birokrasinya lembek,” sindir politisi Partai Demokrat itu.
Ironisnya Pemerintah NTT sendiri, melalui Dinas Pertambangan, juga mengakui bahwa hingga saat ini mereka masih belum memiliki peta tambang. Padahal peran peta tambang tersebut cukup vital untuk mengatur dan mengeluarkan izin pertambangan bagi perusahaan tambang.
“Memang kami pun masih belum memiliki peta tambang tersebut, karena memang belum ada dana dari pemerintah setempat, baik kabupaten maupun kota. Jadi kami harus menunggu dana tersebut dialokasikan, barulah  peta itu bisa dibuat,” kata Bria Yohanes, Kepala Dinas Pertambangan NTT.
Bria mengatakan, jika menggunakan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, peta tambang harus dibuat sendiri oleh perusahaan yang mengajukan izin tambang kepada pemerintah. Tetapi dengan berlakunya UU Minerba, pemerintah yang harus membuat sendiri peta tambang tersebut dan kemudian dilelang kepada perusahaan yang tertarik untuk mengajukan izin tambang.
Menanggapi kecaman berbagai pihak karena Pemerintah NTT tetap memberikan IUP meskipun belum ada peta tambang, Bria menegaskan bahwa IUP yang keluar tersebut dikarenakan mengacu pada UU No. 11 Tahun 1967, sedangkan sejak diberlakukannya UU Minerba 2009 lalu, kata Bria, tidak ada satu pun IUP yang dikeluarkan Pemerintah NTT.
“Memang kendalanya adalah pemakaian UU tahun 1967 itu, padahal kan seharusnya UU 2009. Jadi tidak benar jika kami tetap mengeluarkan izin pertambangan, sementara kami tidak punya peta tambang,” tutur Bria.
Ironi itulah yang kini harus dihadapi oleh provinsi NTT. Negeri ini kaya dengan sumber daya alam. Selain mangan yang amat potensial, hasil pertambangan lainnya adalah emas, nikel, batubara, timah, minyak dan gas, tembaga, timbal dan besi. Namun, semua sumber daya itu belum diolah seperti di daerah lainnya. Itu juga kiranya yang menyebabkan.   provinsi kepulauan—tercatat memiliki 1192 pulau—ini sampai sekarang masih cukup tertinggal dari provinsi-provinsi lainnya. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) 2010 menyebutkan bahwa, meski terus meningkat setiap tahunnya, pendapatan perkapita NTT cuma sekitar Rp 5.230.000,- atau hanya seperlima dari pendapatan perkapita nasional yang kini mencapai Rp 24.260.000,-. Angka pendapatan perkapita NTT tersebut hampir setara dengan pendapatan perkapita Indonesia tahun 1997, yakni tatkala pendapatan perkapita Indonesia mencapai Rp 5.440.000,-.
Potensi mangan di sektor pertambangan yang cukup besar sayangnya belum sepenuhnya diolah secara maksimal. Begitu pula beberapa potensi sumber penerimaan daerah lainnya, sebutlah, misalnya, perikanan. Sebagai provinsi aquatic terresterial, di mana wilayah perairan lebih luas dari daratan, NTT tentu memiliki potensi yang sangat besar di bidang perikanan. Tapi, lagi-lagi ironi. Hasil tangkapan ikan di NTT malah  mengalami penurunan dua tahun terakhir. Total tangkapan sebanyak 99.543 ton pada 2009 lalu masih jauh dibandingkan tangkapan tahun 2007 yang mencapai 101.217 ton ikan.
 Itulah data dan itulah realitas. Untuk mengatasi semua kelemahan itu, terbentang  sudah pekerjaan rumah yang cukup besar bagi pemerintah. Baik pusat maupun provinsi.  Di balik kekayaan alam yang melimpah, masih banyak pula warga NTT yang belum menikmati standar hidup yang memadai. Buktinya, dalam menikmati aliran listrik. Daya kapasitas terpasang listrik  di daerah ini  sampai HPN diselenggarakan, baru memenuhi kebutuhan 27% saja. Kenyataan ini sempat  membuat miris dirut baru PLN. “Saya berjanji sampai akhir tahun ini kapasitas itu akan bisa ditingkatkan sampai 70 persen,” kata Dirut PLN Dahlan Iskan, yang bersama beberapa narasumber lain tampil dalam diskusi khusus ekonomi di HPN 2011.
Dari peringatan HPN 2011 yang amat semarak di Kupang, di mana hampir semua mata tertuju ke  provinsi, yang disebut Gubernur Frans Lebu Raya, sebagai “penjaga setia” NKRI itu,  warga NTT tentu sangat berharap pemerintah segera mencarikan jalan agar  kekayaan alam dan sumber daya lainnya di NTT, dapat segera diolah guna dimanfaatkan bagi peningkatkan kesejahteraan mereka.  Tentu, seperti yang dikatakan Gubernur Frans Lebu Raya, sesuai konsep dan visi warga NTT, “Peningkatan kesejahteraan rakyat berbasis ramah lingkungan”.
Kalau itu bisa diwujudkan nanti, maka masyarakat dan pemrov NTT yang baru mendapat “hadiah tambahan dana APBN” sebesar Rp 5 triliun, akan mengenang HPN dan membenarkan tema utamanya: “kemerdekaan pers dari rakyat dan untuk rakyat”.


*Dimuat di www.majalah-diurna.com dalam peringata Hari Pers Nasional di Kupang, NTT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar