courtesy: Wikipedia
Keberadaan media cukup sentral dalam kehidupan kita saat ini. Era informasi seperti sekarang membuat peran media menjadi penyebar informasi. Media dituntut bersikap seadil-adilnya dalam memberitakan sebuah informasi. Tapi, banyak yang mengira bahwa informasi yang adil itu berarti media harus netral.
Keberadaan media cukup sentral dalam kehidupan kita saat ini. Era informasi seperti sekarang membuat peran media menjadi penyebar informasi. Media dituntut bersikap seadil-adilnya dalam memberitakan sebuah informasi. Tapi, banyak yang mengira bahwa informasi yang adil itu berarti media harus netral.
Beberapa waktu lalu, seorang teman berkeluh-kesah di media
sosial. Keluhan itu dia sampaikan karena merasa salah satu media cetak terbesar
di Indonesia bersikap tidak netral terkait Pemilihan Presiden 2014. Teman saya
itu menuding jika pemberitaan media itu berpihak kepada salah satu calon
pasangan dalam Pilpres.
Menurut saya, hampir mustahil mencari media yang netral. Netral itu bisa diartikan sebagai sebuah sikap yang tidak berat sebelah kepada salah satu yang menjadi subjek pemberitaan. Jadi kalau ada masalah antara A dan B, maka media itu tidak memiliki sikap bahwa A atau B yang benar. Jika memang seperti itu, menurut saya itu bukan media.
Menurut saya, hampir mustahil mencari media yang netral. Netral itu bisa diartikan sebagai sebuah sikap yang tidak berat sebelah kepada salah satu yang menjadi subjek pemberitaan. Jadi kalau ada masalah antara A dan B, maka media itu tidak memiliki sikap bahwa A atau B yang benar. Jika memang seperti itu, menurut saya itu bukan media.
Seketika saya teringat sebuah pernyataan saat sedang
mengikuti pendidikan tempat saya bekerja. Saya bekerja di salah satu media
massa yang cukup dikenal luas. Ketika dalam masa pendidikan itu, mantan
pemimpin redaksi yang menjadi pembicara itu mengatakan bahwa media kami
bersikap independen. Artinya, media kami bukan media yang netral dan tidak
memiliki keberpihakan. Justru sikap independen itu adalah sebuah kebebasan yang
dimiliki media untuk menetukan sikapnya.
Artinya, media kami secara jelas menunjukkan sikap terhadap
suatu permasalahan. Pembicara yang
mantan pemimpin redaksi itu juga memberikan contoh, meski dalam
kesempatan yang berbeda. Contohnya adalah kisruh PSSI. Waktu itu Nurdin Hadil
yang menjabat sebagai ketua umum dipenjara karena terlibat kasus korupsi. Dia didesak
untuk mundur karena aturan FIFA menyebutkan bahwa ketua federasi sepak bola
suatu negara tidak boleh terlibat kriminal.
Dengan segala upaya, Nurdin dan kawan-kawan berupaya sebisa
mungkin mengakali aturan tersebut. Mereka berdalih bahwa Nurdin ketika menjabat
pertama kali tidak terkait masalah sehingga posisinya sebagai ketua umum tidak
bisa lengser melalui aturan FIFA. Sebuah argumentasi yang bahkan organisasi
sekaliber FIFA geleng-geleng dan angkat tangan sehingga Nurdin tetap anteng di
kursi PSSI 1.
Dari kasus itu, media kami memutuskan bahwa argumentasi itu
hanya retorika politikus busuk yang tidak ingin kehilangan jabatan. Kami pun
memutuskan untuk berpihak pada FIFA dan ‘menyerang’ PSSI yang dikomandoi
Nurdin. Singkat cerita, sang ketua umum itu pun akhirnya berhasil dilengserkan.
Terpilih ketua baru bernama Djohar Arifin. Tapi kepemimoinan Djohar juga tak
mulus.
Sekelompok orang yang tidak puas akhirnya mendeklarasikan
diri untuk membentuk Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI). Sebuah organisasi
tandingan yang tidak memiliki dasar hukum apapun. Mereka Cuma orang-orang
mantan komite eksekutif PSSI yang tidak terima dipecat oleh Djohar. Keberadaan KSPI
itu juga akhirnya ikut berimbas ke tim nasional sehingga menimbulkan dualisme.
Dan lagi-lagi, media kami pun akhirnya mengambil sikap. PSSI
harus dibela. Kira-kira seperti itu pesannya. Karena apa yang dilakukan oleh
PSSI dengan memberhentikan komite ekskutif itu adalah sesuatu yang legal karena
dilakukan lewat mekanisme organisasi. Karena itu, media kami pun membela PSSI
karena memang berada di pihak yang benar.
Intinya, media itu tidak akan pernah ada yang bersikap
netral. Setiap media pasti punya kepentingan dan pemikirannya masing-masing.
Bahkan di Amerika Serikat yang konon menjadi kiblat kebebasan pers juga tidak
ada media yang netral. Media-media ternama di sana, dalam hal pemilu, juga
memiliki jagoannya masing-masing.
Bahkan mereka berani mengakui secara terbuka sebagai
pendukung Partai Republik atau Partai Demokrat. Sesuatu yang tidak kita lihat
di Indonesia, di mana media malu-malu kucing menyampaikan sikapnya.
Akhirul kata, menurut saya sikap netral dalam perkembangan
dunia sekarang ini hampir sulit ditemui. Kita sebagai makhluk yang berakal dan
berpendidikan juga secara otomatis pasti memiliki pilihan. Mana baik dan buruk,
mana benar dan salah. Ibaratnya begini, kita punya pacar terus pacar kita
digangguin orang. Kalau bersikap netral, kita harusnya tidak membela pacar atau
yang mengganggu dong.
Pertanyaanya,apa iya
seperti itu? Otomatis kita memihak kan. Independen dan netral itu berbeda. Intinya, media boleh berpihak selama berpihak kepada yang benar. Jadi kalau mau mencari media yang netral,
ya mungkin bisa bikin saja media sendiri. hehehe
Demikian.
kok jadi ke pacar sih, nanti yang belum punya jadi tersinggung tau...
BalasHapussoalnya kalo cinta-cintaan pasti pada cepet ngertinya, apalagi temen saya yg namanya Lodra..
BalasHapus