Jumat, 20 Juni 2014

Lokalisasi Tak Akan (Pernah) Mati #Pencermat

 
courtesy: poskotanews

Beberapa bulan lalu, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, tampak meneteskan air mata saat berkunjung ke Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan. Air matanya meleleh saat dia menyaksikan sendiri banyaknya perempuan, tidak sedikit yang masih berusia belasan, bekerja sebagai pemuas nafsu laki-laki hidung belang. Ya, daerah yang baru dikunjunginya ada lokasi termasyuh se-Indonesia, yakni Lokasisasi Dolly. Risma pun bertekad bulat bakal menutup lokalisasi itu dan memberikan keterampilan kepada 'penghuni gang Dolly'.

Pada 18 Juni 2014, Risma membuktikan ucapannya tidak main-main atau pemanis media saja. Dia menutup lokasisasi yang konon merupakan terbesar di Asia Tenggara. Dibantu ribuan petugas gabungan dari Satpol PP, Polisi, dan TNI, deklarasi penutupan Dolly pun berlangsung secara mulus. Tapi, saya sendiri tidak yakin hal itu akan benar-benar melenyapkan aktivitas syahwat di kawasan tersebut.

Menurut saya, seks merupakan salah satu kebutuhan biologis manusia yang paling mendasar. Jika sudah kebutuhan itu sudah mencapai ubun-ubun, berbagai macam aral melintang pun dihadapi. Tujuannya satu,mencapai kepuasan seks. Mungkin hal itu cuma berlaku buat yang gagal mengendalikan syahwatnya. Celakanya, tak sedikit juga diantara mereka yang belum menikah sehingga tak bisa menyalurkan hasrat seksualnya. Karena itu, melipirlah dia ke tempat esek-esek itu.

Di lain pihak, para penjaja seks pun senang-senang saja mendapat pelanggan. Dengan alasan ekonomi, para pekerja nafsu itu malah mendapat keuntungan materi yang melimpah. Mereka bisa menerima uang uang antara Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu per hidung belang. Jika dalam sehari bisa melayani 10 hidung belang, uang Rp 1 juta minimal sudah ada di kantong. Bandingkan dengan gaji kita..hehehe.

Hukum ekonomi pun berlaku. Needs ada, pasokan pun tidak seret. Maka, prostitusi pun menjadi bisnis yang menggiurkan, Tapi tentu saya tidak bicara masalah halal atau haram di sini. Murni dilihat dari kacamata dimas, eh, bisnis maksudnya. Lokalisasi Dolly misalnya. Sebuah laporan pernah mengungkap bahwa perputaran uang di kawasan itu mencapai miliaran rupiah dalam satu malam. Siapa yang tidak tergiur? Modalnya cuma ruko yang isinya sudah di-setting (untuk esek-esek) dan pekerja seks saja. Tapi modal bisa lunas dalam hitungan bulan saja.

Iming-iming Wali Kota Risma yang akan memberikan bantuan keterampilan agar lokalisasi Dolly tidak ada lagi menurut saya tidak menyentuh inti persoalan. Keterampilan yang ditawarkan seperti menjahit atau apalah itu, kurang menarik bagi para pekerja seks. Logikanya adalah, "Kalau melacur saya bisa dapat Rp 1 juta dalam sehari, jadi mengapa harus menjahit yang sebulan belum tentu bisa dapat Rp 1 juta."

Jadinya, menurut saya, para pekerja nafsu itu bakal tetap menikmati pekerjaannya saat ini. Alasan ekonomi menjadi pertimbangannya. Apalagi si hidung belang yang ingin menyalurkan hasratnya itu bisa dibilang tidak sedikit. Hukum ekonomi pun kembali bekerja, ada kebutuhan (si hidung belang), maka tentu ada pasokan (pekerja seks).

Lagipula, lagi-lagi menurut saya, keberadaan lokalisasi itu juga ada sisi positifnya. Pemerintah bisa mengontrol aktivitas di kawasan tersebut. Para pekerjanya bisa didesak untuk memeriksakan diri sehingga akan terdeteksi jika mengidap penyakit yang berbahaya. Penularan berbagai macam penyakit menular seksual pun bisa dikontrol. Selain itu, laki-laki beristri juga pasti akan was-was jika kedapatan keluar dari area tersebut. Kepergok istri, golok tersaji.

Tapi kalau lokalisasi ditutup, otomatis bisnis prostitusi itu malah tercecer dan akan sulit untuk dikendalikan. Para pekerja seks pun  menyebar hingga akhirnya sulit terdeteksi aktivitas dan keberadaannya. Mereka pun bakal sulit untuk didesak untuk menjalani uji kesehatan. Akhirnya, prostitusi malah menjamur ke tempat lain. Potensi penularan penyakit seksual pun malah lebih besar. Si hidung belang yang sudah bersuami juga bisa lebih bejat.

Contoh nyata, Lokalisasi Kramat Tunggak yang ada di kawasan Koja, Jakarta Utara. Dulu kawasan itu jauh lebih membahana daripada Dolly. Tapi tahun 1999, Gubernur Sutiyoso menutup lokalisasi itu dan daerah itu disulap jadi Islamic Center. Masalah selesai? Tidak. Kawasan prostitusi tetap saja ada. Bahkan, lokalisasi itu malah pindah ke kawasan Kalijodo.

Menurut saya, ya intinya memang soal pilihan saja. Tidak ada pilihan yang sempurna 100 persen. Balik lagi ini soal kemauan saja. Pemerintah sudah mau, tapi apakah warganya mau? Nah itu dia yang sulit. Saya sendiri bukan pro dengan keberadaan lokalisasi. Tapi saya kontra terhadap dampak penutupannya. Loh gimana sih? hehehe. Saya cuma tidak mau kalau penutupan lokalisasi malah menimbulkan lokalisasi lainnya.


Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar